Sabtu, 04 Oktober 2014

Kain Tenun Nagekeo (Luka Bay)


Di Nagekeo berkembang dua macam proses tenun. Proses pete (ikat) dan proses wo’i (sulaman). Pete dan wo’i adalah cara membuat pola pada bahan tenun. Luka bay (ragi bay) sebutan kain adat dimaupongo..
Ketika belum ada zat pewarna kimia, orang kampung menggunakan tanam perdu yang disebut tarum (talu dalam bahasa Mau) atau taru dalam bahasa Ende. Tarum menghasilkan warna biru. Caranya mudah saja. Daun-daun tarum (talu/taru) bersama tangkai-tangkai kecil direndam beberapa hari dalam wadah.Wadah terbuat dari tanah liat berbentuk periuk tetapi dengan bukaan yang lebar. Karena itu bila tidak ada, orang menggunakan periuk tanah yang di pecah bagian atas. Bukaannya harus lebar untuk leluasa memasukkan material yang yang akan diwarnai. Benang yang telah diikat sesuai dengan pola yang dinginkan kemudian direndam minimal 2 hari dalam periuk berisis tarum.



Untuk memperoduksi larutan pewarna  butuh waktu  beberapa hari bahkan sampai satu minggu.  Daun-daun tarum direndam dalam air  kemudian membusuk dan mengeluarkan warna yang gelap (indigo blue).  Warna hitam kebiruan, berwana biru tua (deep blue) akan menyerap pada benang-benang ini.  Setelah benang diangkat dan dijemur sampai kering kemudian ikatan-ikatan pola dilepaskan. Maka akan kelihatan warna putih pada bekas ikatan. Bila ingin diberi warna kuning maka benang sekali lagi dicelup pada warna yang dinginkan.


Saya sendiri belum pernah menyaksikan bagaimana warna hitam dihasilkan oleh para penenun tradisional di wilayah Boawae. Di wilayah ini dikenal dengan hoba nage, atau orang pantai menyebutnya dawo pote. Ciri bahwa kain itu masih baru dengan adanya ujung benang lusi dibarkan terurai dan di pilin. Di pesisir selatan di wilayah Maubare, Daja, Mauromba dan Maundai semua mencelup benang dalam larutan tarum.  Bau rendaman tarum mengeluarkan bau basi, yang lumayan bisa bikin mabuk bagi yang tidak biasa.  Kalau tarum untuk warna hitam atau biru, maka warna terang yaitu warna kuning diperoleh dari kembo atau kaju kune. Kembo atau kaju kune adalah pohon mengkudu.  Dan yang digunakan adalah akar pohonnya dan terkadang dahan atau batang pohonnya. Kayu-kayunya di dibelah dan dipotong kecil kemudian direbus dan  direndam bersama benang.Hasilnya   warna kuning kemerahan atau jingga.


Keterbatasan mendapatkan zat warna ini yang membuat semua hasil tenun Nagekeo  selalu berwarna hitam dan kuning saja.  Itulah zat warna yang ada dan  biasa dipakai. Karena berlangsung puluhan tahun, maka dianggap sebagai ciri khas tradisi seni tenun.Tenun ikat pantai selatan disebut dawo ende. Ini merujuk asal dari kebiasaan ikat dan pewarnaan benang serta tenun. Ini tenun khas berasal dari Ende. Dan tenun ikat untuk dawo ende ini hanya ibu-ibu yang beragama Islam. Tenun woi tradisi asli orang Nagekeo.
Kami mengadakan pendekatan dengan penenun di Maundai untuk coba mengembangkan tenun ikat. “Repot sekali” demikian katanya. Proses tenun ikat memang jauh lebih rumit. Karena benang lusi harus dibuat pola dengan mengikat kemudian dicelup dalam larutan pewarna.   Tetapi tenun ikat bisa lebih luwes dalam mengaplikasi pola. Karena itu tidak heran   bila di Daja, Mauromba dan Maundai tidak pernah lagi tercium aroma  endapan  tarum. Dan tentu tidak ada lagi orang yang menenun dawo ende. Semuanya didatangkan dari luar Nagekeo. Tidak ada yang melihat ini sebagai peluang usaha. Ibu-ibu di pantai selatan lebih banyak mengenakan dawo ende, tetapi semuanya berasal dari kabupaten Ende. Pemerintah daerah harus punya kiat sendiri untuk menghidupkan kembali kerajinan tenun ikat (pete senda) di wilayah kabupaten Nagekeo, khususnya di wilayah Keo Tengah (Daja, Mauromba dan Maundai serta Maunori) dan  Nagaroro ( Maunura, Maubare, Tonggo, Pombo). Ini juga salah satu cara mengurangi ketergantungan suplai  kain sarung dawo ende dari Ende dan Pulo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogroll