Selasa, 11 September 2012

TAHAP-TAHAP DAN TATA CARA PEMBUATAN PEO


-tahap Pembuatan Peo lambang pemesatu masyarakat nagekeo
Tahap Awal
Seperti biasanya ketua adat dan para ketua suku serta para “mosa Laki” harus duduk bersama, membuat suatu pertemuan atau “mutu tiwo”dan mengambil suatu kesepakatan dalam melakukan suatu upacara adat. Supaya segala kegiatan yang akan dilaksanakan tidak terbengkalai.

Kai Noe (Pelacakan atau penjajakan)
Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh ketua adat dan beberapa anggota suku yang dipercayakan. Mereka masuk keluar hutan untuk mencari kayu “ebu” yang cocok untuk pembuatan Peo. Setelah mereka menemukannya, mereka tidak menyentuh kayu tersebut. Mereka harus menemui penguasa hutan itu, untuk memberitahukan bahwa ada sebatang pohon “ebu” yang diistilahkan sebagai seorang anak gadis yang nanti akan mereka lamar atau pinang. Kayu ebu ini diibaratkan dengan seorang anak gadis yang sangat cantik.

Ade Ona (Melamar atau Meminang)
Setelah diadakan penjajakan dan mengetahui tempat dan siapa tuan kayu atau yang diibaratkan sebagai orang tua si gadis itu, ketua adat dan beberapa anggota suku langsung membicarakan berapa belis yang harus dibawa oleh pelamar. Setelah disetujui bersama, maka ketua adat dan semua mereka yang hadir langsung menentukan waktu untuk memotong kayu atau “Pogo Peo”, yang sering diistilahkan “Ana Nuka Sa’o”, artinya gadis yang dipinang itu, setelah dibelis, dibawa ke rumah orang yang telah melamarnya dan telah sah menjadi suaminya.
Tahap Inti
Tahap inilah yang mulai melibatkan banyak orang, yakni anggota suku dari dalam wilayah adat setempat. Tidak saja anggota suku yang ada dalam suku di wilayah ini, tetapi anggota suku lain di sekitarnya upacara pembuatan Peo ini, membutuhkan banyak tenaga. Dan biasanya anggota suku lain di sekitarnya hanya dapat menyumbangkan tenaga. Dan hanya itulah yang dituntut dari mereka.

Pogo Peo (Potong Kayu Pembuat Peo)
Saat ini yang paling mengembirakan suku-suku yang berdiam di wilayah ini. Gong gendang mulai dibunyikan, tanda dimulainya suatu kegiatan besar yang dinanti-nantikan. Suasana wilayah ini akan berubah menjadi sangat riuk. Suku-suku yang ada mulai beraksi dalam seluruh rangkaian kegiatan.
Ketua adat yang didampingi seorang “Ana Susu” ”(Pembantu atau pelayan ketua suku) memanggil seluruh anggota suku dari keempat suku, mengadakan musyawarah untuk mengundang suku-suku lain di sekitarnya yang diistilahkan dengan “Kae Ari, A’i lima”. Suku-suku yang diundang, dijemput dan dibunyikan gong gendang. Setelah semuanya berkumpul, mulai diadakan “Nalo”, yakni makan bersama. Usai makan bersama, Ketua adat mulai memberikan penjelasan mengenai tujuan mereka berkumpul dan menjelaskan beberapa persyaratan dalam “ Pogo Peo” (Potong kayu pembuat Peo) yang akan dilaksanakan.
Usai semua itu, Ketua Adat dan keempat suku beserta “ ana susu”(Pembantu atau pelayan ketua suku), turun dari rumah adat untuk mulai “ wesa rea”, artinya berdoa kepada para leluhur. Setelah mereka keluar dari kampung dengan didahului oleh “ana susu” (Pembantu atau pelayan ketua suku), disusul Ketua Adat. Alat yang dibawa adalah “ Topo Seki Dewa”, yakni parang yang dipakai pada waktu perang dahulu, “Boku toyo” (Destar berwarna merah), yang diikat di kepala untuk menandakan keberanian melawan musuh-musuh, “Taka pie” atau kapak adat dan “bele” atau kantong untuk mengisi bahan makanan bagi para leluhur yang nanti dipergunakan untuk “wesa rea”(berdoa dan memberi makan kepada arwah para leluhur), juga hewan untuk belis (mas kawin).
Ketika tiba di tempat yang ditujui, mereka semuanya diterima oleh pihak orang tua si gadis atau pemilik kayu. Makan minum diadakan bersama-sama sesuai dengan tata cara adat perkawinan di wilayah tersebut. Selesai makan, barang bawaan diserahkan kepada tuan kayu atau orang tua si anak gadis, yakni kerbau, kuda, emas, dan kambing, sebagai mas kawin. Setelah itu langsung di buat acara penyerahan anak gadis tersebut oleh orang tuanya untuk “Nuka Sao” (gadis yang dipinang itu, setelah dibelis, dibawa ke rumah orang yang telah melamarnya dan telah sah menjadi suaminya). Inilah saatnya “Pogo Peo”(Potong kayu pembuat Peo), tuan kayu bersama seluruh yang hadir beranjak ke tempat di mana kayu itu berada.
Adabeberapa kegiatan serimonial awal yang harus dibuat, yakni: Pertama; diawali dengan kegiatan pencarian kayu. Keberadaan kayu seolah-olah tidak diketahui oleh semua mereka yang datang. Oleh karena itu, mereka semua sama-sama mencarinya.
Kedua, setelah menemukan kayu yang dimaksudkan, ketua adat dan “Ana Susu”(Pembantu atau pelayan ketua suku) mulai melakukan “wesa rea”, yakni berdoa mohon campur tangan para leluhur sambil memberi makan kepada para leluhur di bawah pohon kayu yang hendak dipotong.
Usai melaksanakan beberapa tahap serimonial di atas, maka pohon tersebut mulai dipotong. Tapi sebelumnya, pohon tersebut diagak dengan “Taka Pile”(Kapak adat) oleh Ketua Adat. Hal ini menunjukkan campur tangan para leluhur dalam acara tersebut.
Kayu yang ditebang dan mempunyai dua cabang itu, kemudian dikuliti. Kegiatan ini sangat meriah karena diiringi bunyi gong gendang dan teriakan-teriakan. Sementara sebagian orang menyiapkan kayu pengusung. Setelah semua beres, kayu ini kemudian diusung bersama-sama sambil meneriakan yel-yel diiringi gong gendang dan tarian. Arak-arakan ini didahului oleh “Ketua Adat” dan “Anak Susu”(Pembantu atau pelayan ketua suku). Bila ada hambatan, misalnya karena pengaruh ilmu gaib dari pihak luar yang sering membebankan para pengusung, maka ketua adat biasanya menunggang kayu Peo yang sedang diusung itu agar menjadi ringan. Menurut keyakinan masyarakat setempat, biasanya orang yang memiliki ilmu hitam menunggang kayu tersebut. Oleh karena itu, ketua adat harus segera menunggang kayu tersebut, agar yang empunya ilmu gaib menghindarkan diri atau melarikan diri.
Setibanya di kampung, kayu dan arak-arakan itu disambut dengan tarian oleh para wanita sebagai tanda penghormatan. Kayu kemudian ditempatkan pada suatu tempat yang telah disiapkan secara istimewa untuk diproses selanjutnya. Di tempat inilah kayu tersebut di ukir dan dibentuk sedemikian rupa sehingga benar-benar merupakan Peo yang sesungguhnya.

Pogo Pu’u
Kayu Peo yang sudah ada itu kemudian dibersihkan untuk diukir. Pogo Pu’u artinya memotong pangkal kayu bakal Peo yang baru saja dibawa dari hutan itu agar kelihatan rapi. Inilah kegiatan awal ketika kayu masuk kampung. Menurut keyakinan masyarakat setempat “pogo pu’u” ini merupakan acara pembersian diri untuk memulai suatu kegiatan baru. Acara ini cukup meriah, dengan diiringi tarian.
Setelah itu dilanjutkan dengan upacara “Keo Podo”, artinya mengukir periuk. Kegiatan ini merupakan awal dimulainya kegiatan mengukir batang kayu Peo yang telah dibersihkan itu. “Podo” atau periuk adalah ukiran paling bawah pada Peo. Acara yang menegangkan ini, membuat suasana kampung bagaikan tanpa penghuni. Semua orang dilarang bersuara selama beberapa menit, sejak ketua adat memberikan aba-aba untuk mulai mengukir periuk ini. Biasanya ibu-ibu dan anak-anak melarikan diri ke luar kampung untuk beberapa saat. Inilah saat untuk mengenang kembali kebaikan dan perlindungan para leluhur. Mereka yang “ Reke Ne‘e Ta Au Tana Wea Watu, Pepe Ria Sagho Molo, Tii Kita Peni Moo Bi, Wesi Moo Kappa, Tatau Olo Muri Kita Pawe”, artinya semoga mereka yang telah mendahului kita, yang kini ada di dunia seberang, senantiasa memberi kita keberhasilan dalam setiap usaha, dalam bertani dan berternak.
Setelah upacara “Pogo Pu’u” ini, dilanjutkan dengan kegiatan “Liku Peo”. Liku Peo atau mengukir Peo ini dilakukan oleh utusan dari keempat suku besar yang ada dan kegiatan ini biasanya selama 14 (empat belas) hari. Bunyian gong gendang dan tari-tarian oleh warga setempat terus mengiringi kegiatan ini hingga selesai. Makan minum adat dilaksanakan setiap hari dengan tanggungan bergilir oleh setiap “ngapi” atau suku. Kegiatan ini dimulai pagi hari dengan diawali doa oleh ketua adat kepada para leluhur dan ditutup pada malam hari dengan tarian adat oleh warga suku. Setelah selesai mengukir, para ketua suku dan ketua adat  berembuk untuk kegiatan berikut.


            Pebha” (Pengesahan)
                                    Acara ini berlangsung sangat meriah dan terbagi dalam beberapa tahap sebagai berikut ini:
a.       “ Kedhu Taa Mewu, Pusi Taa Muri
Upacara ini adalah upacara pencabutan Peo lama dan penanaman Peo baru. Peo yang telah selesai diukir, disiapkan untuk ditanam pada tempat yang telah ditentukan. Empat orang ketua suku bersama “ana susu” (Pembantu atau pelayan ketua suku) turun dari rumah adat dan melaksanakan kegiatannya dengan diawali “bhea” atau doa berbentuk puisi. Dalam “bhea’ ini, para ketua suku menyusun kembali silsilah keturunannya dan sekaligus memohon doa restu para leluhur  agar upacara ini dapat berjalan lancar  dan terhindar dari segala marah bahaya. Para penari dan pengusung siap melaksanakan tugas untuk mengantar Peo yang telah jadi itu dari hilir kampung. Setelah “bhea”, ketua adat melaksanakan ”toka koe”, yakni upacara penggalian Peo oleh semua orang yang hadir, sekaligus bersama-sama mencabut Peo lama itu. Upacara pencabutan Peo lama inilah yang dimanakan “Kedhu Taa Mewu”.
Sekedar untuk diketahui, sebelum diadakan upacara pembuatan Peo, Peo lama biasanya telah ditawarkan oleh pembeli. Dan Peo lama ini biasanya langsung dibeli orang. Oleh karena itu, Peo lama biasanya langsung diusung keluar kampung dan diterima oleh pembeli dan segera dibawa. Hal ini tidak berarti bahwa warga suku tidak menghargai Peo lama tersebut.
Setelah Peo lama dicabut, ketua adat dan para ketua suku menjemput Peo baru yang telah siap diusung. Peo baru kemudian diarak menuju tempat penanaman. Upacara ini diiringi dengan gong gendang dan tarian serta bunyi-bunyian lainnya seperti meriam bambu dan pekik sorak semua orang yang hadir. Setelah tiba di sana, Peo baru langsung ditanam. Upacara inilah yang sangat dinanti-nantikan oleh semua orang yang hadir. Peo ditanam pada tempatnya. Inilah yang namanya “ Pusi Taa Muri”.
b.      Koe Laka atau Bheto  (Penanaman bambu)
Tahap dimana orang mulai menanam bambu di sekitar Peo. Bambu-bambu itu ditanam sedemikian rupa, dan diikat, yang nantinya berfungsi untuk upacara “ Pebha Kaba”. Upacara ini sangat singkat, karena bambu-bambu yang dibutuhkan, telah tersedia di dekat Peo sebelum Peo baru ditanam. Setelah bambu-bambu tersebut ditanam, langsuang dilanjutkan dengan acara “Pebha Kaba”.
c.       Pebha Kaba
Upacara ini diadakan untuk mengesahkan Peo baru dengan darah kerbau. Pada zaman dahulu biasanya kerbau disiapkan puluhan ekor tergantung dari kesanggupan semua anggota suku dari keempat suku besar tersebut. Tapi sekarang telah disederhanakan atau diperhemat, cuma satu atau dua ekor kerbau saja yang disembelih.
Uapacara ini berlangsung sangat meriah. Biasanya disaksikan oleh banyak orang yang datang dari berbagai penjuru, bahkan turis manca negara dan para pejabat pemerintah. Upacara ini berlangsung dari pagi hingga pagi berikutnya.
Kerbau yang telah dihias dengan janur diikat dari hilir kampung sebelum diarak masuk menuju Peo baru. Janur diikat pada tanduk dan leher serta di ekor untuk menunjukkan kemeriahan, kemegahan, keagungan. Setelah semuanya telah siap, ketua adat bersama salah satu ketua suku melaksanakan upacara “ Gaka Kaba”. Gaka kaba ini semacam pantun untuk mempermalukan atau mencemooh kerbau yang hendak dikorbankan.
Setelah itu kerbau itu diiringkan masuk ke dalam kampung dengan cambukan dan rotan. Saat yang menegangkan, karena biasanya kerbau menjadi buas dan langsung diikat pada “laka atau bheto” yang baru ditanam dan talinya diikat pada Peo baru. Gong gendang dan tarian serta teriakan-teriakan mengiringi upacara ini. Setelah kerbau diikat, dilanjutkan dengan upacara “pala manu”(Penyembelian ayam) dan “moni kaba”(Nonton kerbau). Upacara ini biasa diistilahkan dengan sebutan “ pebha pala” atau “ Pebha kaba, pala manu”. Kerbau diikat pada Peo di tengah kampung, sedangkan ayam diikat pada Peo simbolis yang dibuat di tungku api di rumah besar atau rumah para ketua suku.
d.       “Pala Manu” (Penyembelian ayam)
Upacara “Pala Manu” ini dibuat di rumah para ketua suku. Upacara ini dibuat untuk “ Kago Weki” atau “ Kago Mae”, artinya memohon perlindungan dari para leluhur bagi keselamatan jiwa dan badan semua anggota suku dan juga agar mereka hidup sejahtera secara jasmani maupun rohani. Upacara ini dibuat secara bergilir di setiap rumah para kepala suku.
Ketua adat dan “ana susu” (Pembantu atau pelayan ketua suku) dengan mengenakan busana adat lengkap, mulai berkeliling dari rumah kepala suku yang satu ke rumah kepala suku yang lain. Sementara itu para ketua suku dan anggotanya telah menunggu sambil mempersiapkan segala keperluan untuk upacara ini. Setelah ketua adat tiba, upacara pun segera dimulai dengan “bhea” oleh ketua suku. “ Bhea” adalah pendasaran doa dan pemaklumatan silsilah dari suku tersebut dengan gerakan tarian adat. Setelah “bhea” dilaksanakan “kokoro” oleh ketua adat dan salah seorang ketua suku yang dipercayakan. “Kokoro” adalah suatu bentuk nasehat kepada seluruh anggota suku dan doa mohon berkat dari para leluhur.
Setelah semuanya dilaksanakan, ayam yang disediakan, diarakan oleh salah satu anak dari dalam suku tersebut mengelilingi tungku api sebanyak 7 (tujuh) kali, yang berarti keturunan akan berkembang, tak terputuskan. Kemudian ayam diikat pada Peo kecil yang ditanam pada tungku api, lalu disembelih dan berakhirlah upacara “Pala Manu” tersebut. Sementara “Pala Manu” (Penyembelian ayam), orang mulai berdatangan dari segala tempat untuk memeriahkan upacara pada malam itu, yakni “Moni Kaba” atau menonton kerbau yang telah diikat pada Peo yang baru saja ditanam.


e.       Moni Kaba” (Nonton Kerbau)
Pada malam yang paling meriah ini, tarian-tarian adat dipersembahkan oleh masing-masing kelompok suku, baik dari dalam kampung itu sendiri maupun dari daerah-daerah sekitar dan bahkan daerah-daerah yang jauh. Di sepanjang perkampungan, penuh dengan penonton dan penari. Masyarakat suku adat mempunyai kewajiban untuk memberi makan kepada semua orang yang datang. Moke arak yang merupakan minuman khas masyarakat adat ini, senantiasa disiapkan dan disuguhkan kepada siapa saja yang datang. Di rumah-rumah disiapkan tempayan untuk menampung minuman ini, yang dibawa oleh orang-orang yang memiliki kepedulian terhadap tuan pesta. Ketupat dan daging yang disiapkan, dibagi-bagikan kepada semua orang yang hadir untuk sama-sama makan.
Malam “moni kaba”(Nonton kerbau) ini memang sesungguhnya menyenangkan dan menggembirakan. Makan, minum dan tarian terus berlanjut hingga pagi hari. Dan upacara ini biasanya dihadiri  oleh ribuan orang. Upacara ini disambung dengan upacara berikutnya, yakni “pegho kaba atau rore kaba”.
f.       Pegho Kaba” (Penyembelihan Kerbau).
Kerbau-kerbau yang diikat pada Peo, disembelih satu persatu. Upacara ini dilakukan oleh ketua adat. Ketua adat menyembelihkannya secara simbolis dengan menggunakan “ topo seki dewa” atau parang adat dan segera sesudah itu disembelih oleh salah seorang yang telah ditunjuk oleh ketua adat.
Daging kerbau dimasak secara adat dan dibagi-bagikan kepada semua orang yang hadir dan dimakan secara bersama-sama, yang diistilahkan dengan “ nalo mere”. Daging dan nasi yang sama juga dibagi-bagikan ke rumah-rumah dalam kampung adat dan suku-suku serta kampung-kampung tetangga. Hal ini mau menunjukkan bahwa masyarakat setempat juga sangat peduli dengan sesama dan sekitarnya. Dan sekaligus juga mau mengatakan bahwa pesta itu merupakan pesta persaudaraan.
Tahap Akhir
 “ Waju Mere” (tumbuk padi secara bersama-sama oleh beberapa orang).
         Upacara ini dilaksanakan di tengah kampung di depan rumah adat, yang disebut ”teda”. Padi dari keempat suku disatukan dalam satu lesung, lalu ditumbuk beramai-ramai oleh istri-istri para ketua suku dan anggota suku yang dipercayakan. Ini membuktikan kekompakan dan kegotongroyongan. Padi yang ditumbuk menjadi beras itu kemudian dimasak untuk makan secara adat. Tapi sebelumnya dibuat upacara pemberian makan kepada para leluhur dari hasil masakan tersebut oleh ketua adat. Upacara ini disebut “ Ka Pie”, artinya makan pemali, yang dilaksanakan di dalam halaman rumah adat atau “teda” tadi.

Woku Ulu Kaba” (Mengarak Kepala Kerbau)
Kepala kerbau yang baru disembelih, diletakkan dekat Peo. Sebagai rasa syukur dan terima kasih mereka dan sebagai ungkapan kegembiraan, mereka mengarak kepala kerbau tersebut keliling kampung sebanyak 4 (empat) kali, yang diiringi tarian dan teriakan-teriakan. Semua yang mengikuti prosesi ini, wajib siap menerima siraman air dari penonton. Bertolak dari keyakinan bahwa airlah yang menghidupkan segalanya. Upacara inilah yang menyegarkan dan membersihkan segala ketidakberesan selama upacara adat ini berlangsung sejak awal. Tawa dan canda ria mewarnai upacara “Woku Ulu Kaba” ini. Karena merasa bahwa segala usaha dan kerja sama mereka untuk menyukseskan upacara adat ini telah selesai.
Pusi Ulu Kaba One tEda” memasukkan kepala kerbau ke dalam “teda” atau rumah adat.
Upacara ini biasanya di buat 2 (dua) atau 3 (tiga) bulan setelah upacara “Pegho Kaba”(Penyembelian Kerbau). Hal ini dimaksudkan agar kepala kerbau yang hendak dimasukkan ke dalam rumah adat itu, telah kering sehingga tidak menyebabkan bau yang kurang sedap. Setelah kepala-kepala kerbau itu kering, dimasukkan ke dalam rumah adat. Upacara ini biasanya dilaksanakan oleh keempat suku yang ada yang diakhiri dengan makan-minum bersama. Dengan berakhirnya upacara “ Pusi Ulu Kaba” ini, maka berakhirlah seluruh rangkaian upacara “ Pebha Pala” untuk mengesahkan Peo,
Sekedar untuk diketahui bahwa Peo lama, biasanya dijual kepada orang yang membutuhkan. Hasil dari penjualan itu dipergunakan untuk melunasi utang yang terjadi atau tercipta selama upacara pembuatan Peo ini berlangsung. Dan biasanya, hasil penjualan itu tidak menjadi monopoli suatu suku atau satu orang saja. Karena bila hal ini terjadi, maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Misalnya orang tersebut atau anggota suku tersebut akan meninggal dunia satu persatu. Oleh karena itu, hasil penjualan Peo lama biasanya digunakan untuk kepentingan upacara adat atau demi kebaikan semua anggota suku dari keempat suku yang mendewakannya dan bernaung di bawahnya.
Upacara pembuatan Peo sebenarnya suatu upacara serimonial adat untuk mengenang jasa-jasa para leluhur. Sehingga dalam doa dan “bhea”, masih terdengar pengakuan adanya “ dewa Reta, ggae Rale”, artinya Tuhan yang di atas dan leluhur yang di bawah, di “Nabe”.


TATA CARA DAN SEMUANYA MENGENAI PEMBUATAN DAN MAKNA PEO BAGI ORANG  NAGEKEO SEPENUHNYA SECARA LENGKAP ADA DALAM BLOG INI, HANYA SENGAJA SAYA BAGI PERKELOMPOK AGAR TIDAK TERLALU PANJANG

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Blogroll