Di Nagekeo berkembang dua
macam proses tenun. Proses
pete (ikat) dan proses wo’i
(sulaman). Pete dan wo’i adalah
cara membuat pola pada bahan
tenun. Luka bay (ragi bay)
sebutan kain adat dimaupongo..
Ketika belum ada zat pewarna
kimia, orang kampung
menggunakan tanam perdu yang
disebut tarum (talu dalam bahasa
Mau) atau taru dalam bahasa
Ende. Tarum menghasilkan
warna biru. Caranya mudah saja.
Daun-daun tarum (talu/taru)
bersama tangkai-tangkai kecil
direndam beberapa hari dalam
wadah.Wadah terbuat dari tanah
liat berbentuk periuk tetapi
dengan bukaan yang lebar.
Karena itu bila tidak ada, orang
menggunakan periuk tanah yang
di pecah bagian atas. Bukaannya
harus lebar untuk leluasa
memasukkan material yang yang
akan diwarnai. Benang yang
telah diikat sesuai dengan pola
yang dinginkan kemudian
direndam minimal 2 hari dalam
periuk berisis tarum.
Untuk memperoduksi larutan
pewarna butuh waktu
beberapa hari bahkan sampai
satu minggu. Daun-daun tarum
direndam dalam air kemudian
membusuk dan mengeluarkan
warna yang gelap (indigo blue).
Warna hitam kebiruan, berwana
biru tua (deep blue) akan
menyerap pada benang-benang
ini. Setelah benang diangkat dan
dijemur sampai kering kemudian
ikatan-ikatan pola dilepaskan.
Maka akan kelihatan warna putih
pada bekas ikatan. Bila ingin
diberi warna kuning maka
benang sekali lagi dicelup pada
warna yang dinginkan.
Saya sendiri belum pernah
menyaksikan bagaimana warna
hitam dihasilkan oleh para
penenun tradisional di wilayah
Boawae. Di wilayah ini dikenal
dengan hoba nage, atau orang
pantai menyebutnya dawo pote.
Ciri bahwa kain itu masih baru
dengan adanya ujung benang
lusi dibarkan terurai dan di pilin.
Di pesisir selatan di wilayah
Maubare, Daja, Mauromba dan
Maundai semua mencelup
benang dalam larutan tarum.
Bau rendaman tarum
mengeluarkan bau basi, yang
lumayan bisa bikin mabuk bagi
yang tidak biasa. Kalau tarum
untuk warna hitam atau biru,
maka warna terang yaitu warna
kuning diperoleh dari kembo
atau kaju kune. Kembo atau kaju
kune adalah pohon mengkudu.
Dan yang digunakan adalah akar
pohonnya dan terkadang dahan
atau batang pohonnya. Kayu-
kayunya di dibelah dan dipotong
kecil kemudian direbus dan
direndam bersama
benang.Hasilnya warna kuning
kemerahan atau jingga.
Keterbatasan mendapatkan zat
warna ini yang membuat semua
hasil tenun Nagekeo selalu
berwarna hitam dan kuning
saja. Itulah zat warna yang ada
dan biasa dipakai. Karena
berlangsung puluhan tahun,
maka dianggap sebagai ciri khas
tradisi seni tenun.Tenun ikat
pantai selatan disebut dawo
ende. Ini merujuk asal dari
kebiasaan ikat dan pewarnaan
benang serta tenun. Ini tenun
khas berasal dari Ende. Dan
tenun ikat untuk dawo ende ini
hanya ibu-ibu yang beragama
Islam. Tenun woi tradisi asli
orang Nagekeo.
Kami mengadakan pendekatan
dengan penenun di Maundai
untuk coba mengembangkan
tenun ikat. “Repot sekali”
demikian katanya. Proses tenun
ikat memang jauh lebih rumit.
Karena benang lusi harus dibuat
pola dengan mengikat kemudian
dicelup dalam larutan pewarna.
Tetapi tenun ikat bisa lebih luwes
dalam mengaplikasi pola. Karena
itu tidak heran bila di Daja,
Mauromba dan Maundai tidak
pernah lagi tercium aroma
endapan tarum. Dan tentu tidak
ada lagi orang yang menenun
dawo ende. Semuanya
didatangkan dari luar Nagekeo.
Tidak ada yang melihat ini
sebagai peluang usaha. Ibu-ibu
di pantai selatan lebih banyak
mengenakan dawo ende, tetapi
semuanya berasal dari
kabupaten Ende. Pemerintah
daerah harus punya kiat sendiri
untuk menghidupkan kembali
kerajinan tenun ikat (pete senda)
di wilayah kabupaten Nagekeo,
khususnya di wilayah Keo
Tengah (Daja, Mauromba dan
Maundai serta Maunori) dan
Nagaroro ( Maunura, Maubare,
Tonggo, Pombo). Ini juga salah
satu cara mengurangi
ketergantungan suplai kain
sarung dawo ende dari Ende dan
Pulo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar