Jumat, 20 November 2015

Mencintai dalam kepasrahan


Hanya sebuah sikap diam dan keheningan yang lebih saya pilih..
Diam menunggu sang waktu memberi sebuah moment.
Diam untuk mencatat segala yang terjadi.
Diam untuk memberi kesempatan otak kembali dalam keadaan normal.
Diam untuk mencari sebuah jalan keluar yang mustahil.
Diam untuk berkaca pada diri sendiri dan bertanya “apakah aku cukup pantas?
Diam untuk menimbang sebuah konsekuensi dari rasa yang harus dipendam.
Diam dan dalam diam kadang semuanya tetap menjadi tak terarah..
Dan dalam diam itu pula, saya menjadi gila karena sebuah rasa dan pesona tetap mengalir..
Sayangnya, dalam keheningan dan diam yang saya rasakan,
lebih banyak rasa galau daripada sebuah usaha untuk mengembalikan pola pikir yang lebih logis.
Galau ketika mata terus meronta untuk sebuah sekelibat pandangan.
Galau ketika mulut harus terkatup rapat meski sebuah kesempatan sedikit terbuka.
Galau ketika mencintai menjadi sebuah pilihan yang menyakitkan
Galau ketika mencintai hanya akan menambah beban hidup
Galau ketika menyadari bahwa segalanya tidak akan pernah terjadi
Galau ketika tanpa disadari harapan terlanjur membumbung tinggi
Galau ketika semua bahasa tubuh seperti digerakan untuk bertindak bodoh.
Apakah mencintai seseorang senantiasa membuat orang bodoh? Tentu tidak.
Dalam kelelahan, diam dan kegalauan yang saya rasakan selama ini, ada rasa syukur atas berkat dari Sang Hidup atas apa yang saya alami.
Syukur ketika rasa pahit menjadi bagian dari mencintai seseorang.
Syukur ketika berhasil memendam semua rasa untuk tetap berada pada zona diam.
Syukur untuk sebuah pikiran abnormal namun tetap bertingkah normal.
Syukur ketika rasa galau merajalela tak terbendung.
Syukur ketika rasa perih tak terhingga datang menyapa.
Syukur karena tak ditemukannya sebuah nyali untuk serius mengatakan “Aku mencintaimu"
Syukur ketika perasaan hancur lebur menjadi bagian dari mencintai.
Syukur ketika harus menyembunyikan rasa sakit dan cemburu dalam sebaris ucapan “aku baik2 SJ" Syukur atas rahmat hari yang berantakan akibat rasa pedih yang teramat dalam.
Akhirnya, bagi saya, keputusan untuk mencintai melalui sebaris doa menjadi pilihan yang paling pantas.
Setidaknya, mencintai secara tulus melalui doa, dalam tradisi agama yang saya anut, akan menjadi lebih bermakna,
karena saya diteguhkan oleh berkat atas segala rasa perih yang senantiasa ada didalam diri.
Dalam doa, akhirnya, semuanya kita kembalikan kepada Sang Hidup..
Bahwa mencintai seseorang itu seperti memanggul sebuah salib.
Bahwa terkadang akal dan perasaan campur aduk tak tentu arah.
Bahwa saya juga bukan manusia super..
Bahwa saya juga tidak bisa berlaku pintar sepanjang waktu, setiap hari.
Bahwa saya juga punya kebodohan yang kadang susah untuk diterima akal sehat.
Bahwa dengan segala kekurangan yang ada, saya berani mencintai..
Bahwa saya bersedia membayar harga dari mencintai seseorang..
Bahwa saya bersedia menanggung rasa sakit yang luar biasa..
Bahwa saya mampu untuk tetap hidup meski rasa perih terus menjalar..
Bahwa saya masih memiliki rasa takut akan kehilangan dalam hidup..
Dan hari ini, dari semua pembelajaran yang telah saya terima,
Berkembang menjadi sebuah bentuk KEPASRAHAN.
Sebuah Zona yang terbentuk karena saya merasa tidak berdaya.
Dimana saya merasa tidak memiliki kemampuan untuk membuat segalanya menjadi mungkin.
Dimana saya tidak berani untuk membangun sebuah harapan
Dimana saya tidak berani untuk serius mengatakan “Aku mencintaimu, mari kita pastikan segalanya, dan semuanya, hanya untuk kita berdua saja..
Dan ini adalah pilihan terakhir yang saya miliki,
Mencintai dalam kepasrahan, tanpa berharap dan tanpa meminta.
Meski sangat susah dan hampir mustahil bagi saya untuk tidak mengingatnya.
Semoga saya bisa.
Dan hingga hari ini, saya masih mencintainya
Saya sadar hal itu akan memberi rasa perih yg teramat dalam
Karena bagi saya, lebih susah untuk tidak mencintainya.
Saya sadar ini adalah sebuah salib yang harus saya pikul.Dalam perjalanan yang melelahkan, dalam diam dan keheningan
Dan tentunya dalam sebuah KEPASRAHAN yang teramat dalam.

Jumat, 14 Agustus 2015

KEWAJIBAN DALAM BUDAYA MAUPONGGO (TI'I PATI)

Berita kematian, pemberitahuan tentang kegiatan adat seperti pernikahan, bangun rumah, pesta-pesta baptis dan terutama komuni pertama, semuanya bukan sekedar berita dan informasi biasa. Tetapi semua informasi yang berujung pada kewajiban. Hidup di kampung bukan menjadi urusan sendiri. Hidup itu sosial. Terikat dengan yang lain. Selalu bersama dengan orang lain. Pada saat seorang bermasalah, jangan takut, karena ada orang lain ikut merasakan dan selalu siap ringan tangan membantu. Demikian juga sebaliknya seorang berkewajiban menolong yang lain. Ada hubungan timbal balik.... Kata ti’i pati berarti memberi dan berbagi. Ti’i pati yang berkaitan dengan adat adalah wajib. Itu adalah tidak saja menjadi ungkapan kasih tetapi juga merupakan bentuk demonstrasi harga diri. Ti’i pati dalam adat mauponggo tidak akan pernah berhenti, terus berjalan selama hidup dalam masyarakat. Budaya ti’i pati yang berkaitan dengan adat suatu yang abadi, dan tidak berubah. Hukumnya wajib. Tidak pernah ada toleransi pada kondisi miskin atau kaya. Karena semua manusia sama di depan hukum adat. Hukum adat sebagai tradisi selalu berkaitan dengan ti’i pati. Hal ini merupakan kewajiban yang tidak bisa ditolak. Tradisi adat adalah warisan leluhur. Melanggar adat berarti mencederai hukum sama artinya dengan mengucilkan diri dari pergaulan masyarakat adat. Sebagai perbuatan memberi dan berbagi, orang mauponggo tahu apa yang terbaik dilakukan demi harga diri. cengkeh, kakao, , dan kopra hanya cerita. uang hasil panen hanya numpang lewat. Semua hasil jerih payah habis untuk melunaskan utang adat...

Sabtu, 11 Juli 2015

TUJUAN PEMBUATAN PEO BAGI ORANG MAUPONGGO

Peo adalah sebatang kayu
yang bercabang dua berbentuk
huruf “Y”, yang dibuat dari satu
jenis pohon yang dalam bahasa
setempat dinamakan “Embu”
yang sudah sejak masa para
leluhur diyakini sebagai pemberi
keteduhan, kenyamanan, dan
kedamaian bagi orang yang
bernaung di bawahnya. Peo
tersebut ditanam di tengah
kampung. Pada batang Peo, ada
banyak ukiran atau aksesoris
yang dibuat, sehingga
menambah keindahan dan
keanggunannya.
Image
Upacara pembuatan Peo
ini dibuat hanya satu kali. Tetapi
apabila Peo lama telah rusak dan
hampir tumbang, maka diganti
dengan yang baru dengan segala
tata upacara seperti yang telah
diwariskan oleh para leluhur.
Sekalipun diganti dengan yang
baru, makna dan tujuannya
tetap. Sehingga upacara
pergantian ini dibuat hanya
berupa pembaharuan atau
pemugaran. Jadi upacara ini
tidak dibuat secara terus-
menerus setiap terjadi pertikaian
antara kelompok atau suku. Peo
dibuat sekali untuk selamanya.
Hanya sering dipugar atau
diganti materinya, apabila sudah
rusak. Sekalipun demikian,
sedikit pun tidak mengurangi
makna dari upacara pembuatan
Peo itu sendiri.
Berdasarkan pengertian
di atas, maka upacara
pembauatan Peo dapat diartikan
sebagai suatu upacara yang
dilestarikan oleh masyarakat
mauponggo khususnya dan
masyarakat Nagekeo umumnya
secara turun- temurun, atau
serangkaian upacara untuk
mempersatukan orang-orang
dan suku-suku yang tercerai-
berai akibat perang saudara.
Upacara pembuatan Peo
ini tidak dibuat oleh satu suku
saja, tetapi secara bersama-sama
oleh beberapa suku. Dengan itu
Peo tidak saja menjadi milik satu
suku saja, tetapi merupakan milik
bersama beberapa suku. Dan
dalam menjaga dan
melestarikannya pun menjadi
tanggung jawab semua suku
yang mengerjakannya dan yang
bernaung di bawahnya.
Dengan diadakannya
upacara ini, semua anggota suku
pemilik Peo tersebut berkumpul.
Rasa kebersamaan dan
kekeluargaan sungguh-sungguh
terbina dan terwujud pada saat
itu. Semua suku tidak hanya
berkumpul untuk menikmati
kebersamaan, tetapi secara tidak
langsung diarahkan untuk
menghanyati makna upacara
tersebut. Dan semua anggota
suku yang hadir, ikut ambil
bagian dalam usaha
menyelesaikan dan
menyukseskan upacara tersebut.
Semua anggota suku tidak saja
sekedar menghadiri upacara,
tapi ikut berpartisipasi dalam
segala hal, baik berupa tenaga,
materi, pikiran dan lain
sebagainya, sehingga upacara
tersebut dapat berjalan lancar
sesuai yang telah direncanakan.
Upacara pembuatan Peo
ini dilakukan oleh para leluhur
dengan menelan biaya yang
sangat besar. Puluhan dan
bahkan ratusan ekor hewan
disembelih sebagai korban,
terutama kerbau dan babi,
ribuan kilogram beras dan bahan
makanan lainnya selama proses
pembuatan Peo, hingga
berakhirnya upacara tersebut.
Tetapi kemudian upacara ini
dibuat dengan anggaran yang
tidak seperti dulu lagi. Dan akhir-
akhir ini, biasanya satu dua ekor
kerbau dengan beberapa ekor
babi yang dijadikan korban.

KEWAJIBAN DALAM ADAT BUDAYA MAUPONGGO

Eko wawi, wati gata, tutu botu
penu bora adalah takaran
sumbangan adat dan juga
merupakan pengakuan atas
status dalam keluarga.
Kebersamaan bukan sekedar
wacana. Orang desa terutama di
perkampungan Nagekeo,
kebersamaan bisa dilihat dari
bentuk kampung. Orang
Nagekeo membedakan tempat
tinggal berdasarkan lokasi.
Sebesar apa pun bangunan
rumah tinggal kalau berada di
kebun maka disebut keka atau
pondok. dan Sekecil apa pun
ukuran bangunannya, selama
ada di kampung orang sebut
sa’o atau rumah. Karena itu
kampung selalu penuh rumah-
rumah.
Hidup bersama selalu
mengandung tugas dan
kewajiban bersama. Dalam
kegiatan adat harga diri seorang
ditentukan melalui partisipasinya
dalam kegiatan bersama.
Seorang yang tidak dilibatkan
akan beranggapan bahwa dia
tidak dihargai. Karena itu warga
desa selalu bangga ikut terlibat
dalam kegiatan adat.
Besar kecil sumbangan dalam
kegiatan adat sebenarnya sudah
ditentukan. Berbagai ukuran
sumbangan partisipasi
berdasarkan garis keturunan.
Jenis sumbangan berupa:
1. Ha eko wawi:
Kewajiban berupa seekor babi
utuh dikenakan pada anak-anak
dalam keluarga. Kalau ada yang
bilang keluaga besar kami
mempunyai kewajiban 4 ekor
babi (eko wutu wawi) berarti
ada empat anak sekandung.
2. Wati Gata :
Wati adalah sebuah bakul kecil
bertutup seperti kotak besekan.
Gata adalah sebuah bakul
terbuka yang agak besar.
Tambahan dalam ukuran wati
gati dikenakan pada ane ana
(keponakan) dan ana ghawe
(anak angkat). Mereka semua
diakui haknya seperti anak dalam
keluarga besar.
3. Tutu botu Penu bora
Tutu botu penu bora, arti
kewajiban tidak terikat sebagai
tambahan atau pelengkap saja.
Kewajiban ini biasa dipenuhi
oleh para pendatang yang
diterima sebagai bagian dari
keluarga besar.
Bagi masyarakat Nagekeo
melibatkan diri tidak sekedar
hadir tetapi juga ikut memberi.
Seorang bernilai dilihat dari apa
yang dia berikan.

KAIN TENUN NAGEKEO (LUKA BAI)

Di Nagekeo berkembang dua
macam proses tenun. Proses
pete (ikat) dan proses wo’i
(sulaman). Pete dan wo’i adalah
cara membuat pola pada bahan
tenun. Luka bay (ragi bay)
sebutan kain adat dimaupongo..
Ketika belum ada zat pewarna
kimia, orang kampung
menggunakan tanam perdu yang
disebut tarum (talu dalam bahasa
Mau) atau taru dalam bahasa
Ende. Tarum menghasilkan
warna biru. Caranya mudah saja.
Daun-daun tarum (talu/taru)
bersama tangkai-tangkai kecil
direndam beberapa hari dalam
wadah.Wadah terbuat dari tanah
liat berbentuk periuk tetapi
dengan bukaan yang lebar.
Karena itu bila tidak ada, orang
menggunakan periuk tanah yang
di pecah bagian atas. Bukaannya
harus lebar untuk leluasa
memasukkan material yang yang
akan diwarnai. Benang yang
telah diikat sesuai dengan pola
yang dinginkan kemudian
direndam minimal 2 hari dalam
periuk berisis tarum.
Untuk memperoduksi larutan
pewarna butuh waktu
beberapa hari bahkan sampai
satu minggu. Daun-daun tarum
direndam dalam air kemudian
membusuk dan mengeluarkan
warna yang gelap (indigo blue).
Warna hitam kebiruan, berwana
biru tua (deep blue) akan
menyerap pada benang-benang
ini. Setelah benang diangkat dan
dijemur sampai kering kemudian
ikatan-ikatan pola dilepaskan.
Maka akan kelihatan warna putih
pada bekas ikatan. Bila ingin
diberi warna kuning maka
benang sekali lagi dicelup pada
warna yang dinginkan.
Saya sendiri belum pernah
menyaksikan bagaimana warna
hitam dihasilkan oleh para
penenun tradisional di wilayah
Boawae. Di wilayah ini dikenal
dengan hoba nage, atau orang
pantai menyebutnya dawo pote.
Ciri bahwa kain itu masih baru
dengan adanya ujung benang
lusi dibarkan terurai dan di pilin.
Di pesisir selatan di wilayah
Maubare, Daja, Mauromba dan
Maundai semua mencelup
benang dalam larutan tarum.
Bau rendaman tarum
mengeluarkan bau basi, yang
lumayan bisa bikin mabuk bagi
yang tidak biasa. Kalau tarum
untuk warna hitam atau biru,
maka warna terang yaitu warna
kuning diperoleh dari kembo
atau kaju kune. Kembo atau kaju
kune adalah pohon mengkudu.
Dan yang digunakan adalah akar
pohonnya dan terkadang dahan
atau batang pohonnya. Kayu-
kayunya di dibelah dan dipotong
kecil kemudian direbus dan
direndam bersama
benang.Hasilnya warna kuning
kemerahan atau jingga.
Keterbatasan mendapatkan zat
warna ini yang membuat semua
hasil tenun Nagekeo selalu
berwarna hitam dan kuning
saja. Itulah zat warna yang ada
dan biasa dipakai. Karena
berlangsung puluhan tahun,
maka dianggap sebagai ciri khas
tradisi seni tenun.Tenun ikat
pantai selatan disebut dawo
ende. Ini merujuk asal dari
kebiasaan ikat dan pewarnaan
benang serta tenun. Ini tenun
khas berasal dari Ende. Dan
tenun ikat untuk dawo ende ini
hanya ibu-ibu yang beragama
Islam. Tenun woi tradisi asli
orang Nagekeo.
Kami mengadakan pendekatan
dengan penenun di Maundai
untuk coba mengembangkan
tenun ikat. “Repot sekali”
demikian katanya. Proses tenun
ikat memang jauh lebih rumit.
Karena benang lusi harus dibuat
pola dengan mengikat kemudian
dicelup dalam larutan pewarna.
Tetapi tenun ikat bisa lebih luwes
dalam mengaplikasi pola. Karena
itu tidak heran bila di Daja,
Mauromba dan Maundai tidak
pernah lagi tercium aroma
endapan tarum. Dan tentu tidak
ada lagi orang yang menenun
dawo ende. Semuanya
didatangkan dari luar Nagekeo.
Tidak ada yang melihat ini
sebagai peluang usaha. Ibu-ibu
di pantai selatan lebih banyak
mengenakan dawo ende, tetapi
semuanya berasal dari
kabupaten Ende. Pemerintah
daerah harus punya kiat sendiri
untuk menghidupkan kembali
kerajinan tenun ikat (pete senda)
di wilayah kabupaten Nagekeo,
khususnya di wilayah Keo
Tengah (Daja, Mauromba dan
Maundai serta Maunori) dan
Nagaroro ( Maunura, Maubare,
Tonggo, Pombo). Ini juga salah
satu cara mengurangi
ketergantungan suplai kain
sarung dawo ende dari Ende dan
Pulo.

MOSA LAKI MENURUT ORANG NAGEKEO

Mosalaki (mosadaki) itu adalah
gelar yang diberikan pada
seorang lelaki di Nagekeo, tapi
tidak semua orang laki-laki
disebut mosadaki. Mosadaki
(mosalaki) berasal dari kata mosa
(jantan dan besar) dan daki atau
laki (jenis kelamin laki). Seorang
mosadaki sesungguh memiliki
sifat kejantanan itu. Seorang
mosadaki memiliki keberanian
dan kesatriaan. Dia harus mampu
membela dan melindungi. Karena
itu dalam berbagai urusan adat
terutama pada saat menghadapi
masalah, seorang mosadaki
berada di depan dan menjadi
seorang organisator dan
pemimpin kelompoknya. Mosa
tana laki watu Mosalaki selalu
dikaitkan dengan tanah dan
kepemilikannya. Ketokohan
mosalaki karena statusnya
sebagai pemilik tanah atau tuan
tanah. Karena itu mosalaki
disebut mosa tana laki watu.
Sebagai pemilik maka mosalaki
memiliki otoritas dalam urusan
adat dan urusan tanah.Dilihat
dari sisi ini maka mosalaki
sesungguhnya dilahirkan.
Seorang menjadi mosalaki
karena berasal dari turunan
mosalaki, seorang pemilik tanah.
Dia adalah putera seorang
mosalaki. Mosalaki adalah putera
pilihan, bukan hanya karena
seorang anak mosalaki. Putera
seorang tuan tanah atau
mosalaki belum tentu
menyandang panggilan mosalaki.
Karena seorang mosalaki
memiliki kriteria atau atribut
lebih. Memiliki jiwa yang satria
dan jiwa kepemimpinan (waka
nga). Ine tana ame watu:
Mosalaki sebagai pemilik utama
tanah disebut juga dengan ine
tana ame watu. Mosalaki kelas ini
adalah putera turunan langsung
dari pemilik sebuah wilayah atau
yang disebut pula sebagai ta
ngala ngga’e (pemilik) atau ta
ngala tanah watu (pemilik tanah).
Ine ku ame lema: Dalam skala
yang lebih kecil ada penguasa
sebahagian tanah garapan (ku
lema). Pada masa lalu tanah-
tanah masih kosong. Siapa saja
dalam suku yang mengolah
tanah diakui sebagai pemilik
lahan (ku lema). Pemilik lahan
dalam skala kecil disebut ine ku
ame lema. Karena meraka masih
dalam garis keturunan pemilik
tanah maka kewenangan dan
kepemilikannya diakui sebgai
tuan tanah dalam skala yang
terbatas. Mereka tetap tunduk
pada Ine tana ame watu.
Pengakuan ku lema (lahan
olahan) berdasarkan pada
kondisi lahan yang sudah penuh
dengan tanaman ekonomis
berupa tanaman kelapa (nio) dan
pinang (eu). Orang Keo selalu
menanam pohon-pohon
tanaman jangka panjang bernilai
ekonomis ini pada pinggir-
pinggir batas tanah olahan.
Pengakuan kepemilikan atas
lahan olahan berdasarkan
kondisi nio tiko eu tako (daun
pohon kelapa dan pinang saling
bersambungan di sekitar lahan).
Tuka babho Seorang mosalaki
harus mampu memimpin dan
mempengaruhi orang lain.
Seorang mosalaki harus memiliki
kemampuan menjadi tuka
mbabho (juru runding). Sebagai
juru runding (tuka mbabho)
seorang mosalaki harus memiliki
kemampuan untuk mendengar,
menganalisa serta mencari
kesimpulan untuk mencari solusi.
Tuka mere kambu kapa Karena
itu seorang mosalaki harus
memiliki tuka mere kabu kapa.
Tuka mere kabu kapa adalah
sebuah istilah yang menjelaskan
sifat seorang mosadaki harus
sabar dan memiliki daya tahan.
Dia harus memiliki tuka mere
(perut besar) untuk mampu
menerima masukan dan kambu
kapa (lilitan lemak tebal) agar
siap menampung dan menahan
segala emosi. Semua ucapan dan
tindakan seorang mosadaki
harus memiliki dasar yang jelas
dan melewati pertimbangan
yang matang. Mosa tuka tiba laki
mata laci Seorang mosadaki
adalah seorang juru runding
yang bijaksana dan adil. Seorang
mosalaki adalah mosa tuka timba
daki mata daci. Dia harus mampu
menimbang secara benar dan
seimbang (adil) seperti
pertemuan dua mata timbangan.
Setiap keputusan mosadaki
harus tidak memihak. Harus
memperlihatkan dan
mendahulukan keadilan. Mosalaki
pongga rore mosalaki Seorang
mosalaki bukan sekedar
pemimpin, tetapi juga seorang
yang punya semangat
berkorban. Masyarakat tidak
menghargai mosa tungga ko’o
punu (mosadaki yang hanya tahu
bicara), karena mosadaki harus
mosa ne’e odo tau (mosa dalam
tindakan). Masyarakat menilai
mosadaki yang hanya tahu
bicara tetapi tidak pernah
berbuat sebagai mosa ka daki
pesa (mosadaki yang hanya tahu
makan atau menikmati). Mosa
nua laki ola Mosalaki sebagai tan
ngala mbu’u atau ta ngala tana
watu (tuan tanah) dia menjadi
mosa nua laki ola (pemuka dalam
kampung). Mosa nua laki oda
bukan tunggal tetapi semua
orang-orang terpandang karena
keturunan dan kepemilikan atas
lahan serta pengaruh karena
charisma-kharsima istimewa.
Mereka ini yang memiliki hak
suara dan pengambil keputusan
dalam urusan adat serta tanah.
Mosa ulu mere eko lewa (adapun
kesalahan penulisan dalam
bahasa daerah (bahasa adat)
mohon dikoreksi bersama..
segala tambahan mengenai adat
istiadat Negekeo sangat diharga
dan diterima... terima kasai)
molo............

MOSA LAKI NAGEKEO

Mosalaki (mosadaki) itu adalah gelar yang diberikan pada seorang lelaki di Nagekeo, tapi tidak semua orang laki-laki disebut mosadaki. Mosadaki (mosalaki) berasal dari kata mosa (jantan dan besar) dan daki atau laki (jenis kelamin laki). Seorang mosadaki sesungguh memiliki sifat kejantanan itu. Seorang mosadaki memiliki keberanian dan kesatriaan. Dia harus mampu membela dan melindungi. Karena itu dalam berbagai urusan adat terutama pada saat menghadapi masalah, seorang mosadaki berada di depan dan menjadi seorang organisator dan pemimpin kelompoknya. Mosa tana laki watu Mosalaki selalu dikaitkan dengan tanah dan kepemilikannya. Ketokohan mosalaki karena statusnya sebagai pemilik tanah atau tuan tanah. Karena itu mosalaki disebut mosa tana laki watu. Sebagai pemilik maka mosalaki memiliki otoritas dalam urusan adat dan urusan tanah.Dilihat dari sisi ini maka mosalaki sesungguhnya dilahirkan. Seorang menjadi mosalaki karena berasal dari turunan mosalaki, seorang pemilik tanah. Dia adalah putera seorang mosalaki. Mosalaki adalah putera pilihan, bukan hanya karena seorang anak mosalaki. Putera seorang tuan tanah atau mosalaki belum tentu menyandang panggilan mosalaki. Karena seorang mosalaki memiliki kriteria atau atribut lebih. Memiliki jiwa yang satria dan jiwa kepemimpinan (waka nga). Ine tana ame watu: Mosalaki sebagai pemilik utama tanah disebut juga dengan ine tana ame watu. Mosalaki kelas ini adalah putera turunan langsung dari pemilik sebuah wilayah atau yang disebut pula sebagai ta ngala ngga’e (pemilik) atau ta ngala tanah watu (pemilik tanah). Ine ku ame lema: Dalam skala yang lebih kecil ada penguasa sebahagian tanah garapan (ku lema). Pada masa lalu tanah-tanah masih kosong. Siapa saja dalam suku yang mengolah tanah diakui sebagai pemilik lahan (ku lema). Pemilik lahan dalam skala kecil disebut ine ku ame lema. Karena meraka masih dalam garis keturunan pemilik tanah maka kewenangan dan kepemilikannya diakui sebgai tuan tanah dalam skala yang terbatas. Mereka tetap tunduk pada Ine tana ame watu. Pengakuan ku lema (lahan olahan) berdasarkan pada kondisi lahan yang sudah penuh dengan tanaman ekonomis berupa tanaman kelapa (nio) dan pinang (eu). Orang Keo selalu menanam pohon-pohon tanaman jangka panjang bernilai ekonomis ini pada pinggir- pinggir batas tanah olahan. Pengakuan kepemilikan atas lahan olahan berdasarkan kondisi nio tiko eu tako (daun pohon kelapa dan pinang saling bersambungan di sekitar lahan). Tuka babho Seorang mosalaki harus mampu memimpin dan mempengaruhi orang lain. Seorang mosalaki harus memiliki kemampuan menjadi tuka mbabho (juru runding). Sebagai juru runding (tuka mbabho) seorang mosalaki harus memiliki kemampuan untuk mendengar, menganalisa serta mencari kesimpulan untuk mencari solusi. Tuka mere kambu kapa Karena itu seorang mosalaki harus memiliki tuka mere kabu kapa. Tuka mere kabu kapa adalah sebuah istilah yang menjelaskan sifat seorang mosadaki harus sabar dan memiliki daya tahan. Dia harus memiliki tuka mere (perut besar) untuk mampu menerima masukan dan kambu kapa (lilitan lemak tebal) agar siap menampung dan menahan segala emosi. Semua ucapan dan tindakan seorang mosadaki harus memiliki dasar yang jelas dan melewati pertimbangan yang matang. Mosa tuka tiba laki mata laci Seorang mosadaki adalah seorang juru runding yang bijaksana dan adil. Seorang mosalaki adalah mosa tuka timba daki mata daci. Dia harus mampu menimbang secara benar dan seimbang (adil) seperti pertemuan dua mata timbangan. Setiap keputusan mosadaki harus tidak memihak. Harus memperlihatkan dan mendahulukan keadilan. Mosalaki pongga rore mosalaki Seorang mosalaki bukan sekedar pemimpin, tetapi juga seorang yang punya semangat berkorban. Masyarakat tidak menghargai mosa tungga ko’o punu (mosadaki yang hanya tahu bicara), karena mosadaki harus mosa ne’e odo tau (mosa dalam tindakan). Masyarakat menilai mosadaki yang hanya tahu bicara tetapi tidak pernah berbuat sebagai mosa ka daki pesa (mosadaki yang hanya tahu makan atau menikmati). Mosa nua laki ola Mosalaki sebagai tan ngala mbu’u atau ta ngala tana watu (tuan tanah) dia menjadi mosa nua laki ola (pemuka dalam kampung). Mosa nua laki oda bukan tunggal tetapi semua orang-orang terpandang karena keturunan dan kepemilikan atas lahan serta pengaruh karena charisma-kharsima istimewa. Mereka ini yang memiliki hak suara dan pengambil keputusan dalam urusan adat serta tanah. Mosa ulu mere eko lewa (adapun kesalahan penulisan dalam bahasa daerah (bahasa adat) mohon dikoreksi bersama.. segala tambahan mengenai adat istiadat Negekeo sangat diharga dan diterima... terima kasai) molo............

Blogroll